Gegara WhatsApp, Pelajar Samarinda Jadi Korban Penganiayaan dan Pemerasan

ayobaca.co, Samarinda – Seorang pria berinisial MDHZ (20) ditangkap Polsek Samarinda Kota setelah diduga memukul seorang pelajar dan merampas ponselnya di SMAN 15 Samarinda, Kecamatan Sambutan.

Insiden terjadi Senin (15/9/2025) sekitar pukul 13.25 Wita. Pelaku mendatangi sekolah setelah mengetahui korban berkomunikasi dengan istrinya melalui WhatsApp. Di hadapan istrinya dan petugas keamanan sekolah, pelaku memanggil korban keluar kelas. Meski korban sudah meminta maaf, pelaku tetap memukul telinga kirinya dua kali.

Setelah dilerai dan dibawa ke ruang guru, pelaku diduga merampas ponsel Oppo A17 milik korban sebelum meninggalkan lokasi. Akibat pukulan tersebut, korban mengalami luka robek pada telinga kiri. Usai kejadian, korban bersama ibunya pergi ke RS Dirgahayu untuk visum. Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 16.30 Wita, mereka resmi melaporkan insiden tersebut ke Polsek Samarinda Kota.

Menanggapi laporan korban, pada Selasa (16/9/2025) malam sekitar pukul 22.20 Wita, Unit Reskrim Polsek Samarinda Kota berhasil menangkap pelaku di Jalan Sejati, Kelurahan Sambutan. Saat pemeriksaan, MDHZ mengakui perbuatannya dan mengungkap bahwa ia telah menjual ponsel korban melalui media sosial.

Kapolsek Samarinda Kota AKP Kadiyo menjelaskan, pihaknya bergerak cepat begitu menerima laporan.

“Kami berhasil menangkap pelaku kurang dari 24 jam setelah kejadian. Proses hukum berjalan sesuai prosedur, dan karena korban masih di bawah umur, kami pastikan pendampingan khusus diberikan,” ujarnya.

Pelaku dijerat Pasal 76C jo Pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, yang ancaman hukumannya mencapai 5 tahun penjara, serta Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, dengan ancaman pidana hingga 9 tahun penjara. Saat ini, pelaku ditahan di Polsek Samarinda Kota untuk penyelidikan lebih lanjut.

Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa kekerasan fisik dan tindakan main hakim sendiri tidak hanya menimbulkan korban, tetapi juga dapat membawa pelaku berhadapan dengan konsekuensi hukum berat. Lingkungan pendidikan semestinya menjadi tempat yang aman dan mendidik, bukan ajang pelampiasan emosi. (Danny)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *