ayobaca.co, Tenggarong – Pesta budaya Erau di Kota Tenggarong berakhir Minggu (30/9/2025) lalu. Acara puncak ditandai dengan prosesi turun naga ke Sungai Mahakam dan belimbur (water festival). Ribuan orang ikut serta, menjadikannya tontonan yang sangat meriah. Tradisi belimbur, yaitu saling siram air, melambangkan penyucian diri.
Erau adalah pesta budaya Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang berlangsung di Tenggarong, ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Tahun ini, acaranya digelar selama sepekan, mulai 21 September hingga puncak penutupan pada 28 September, bertepatan dengan HUT ke-243 Kota Tenggarong.
Acara pembukaan dihadiri Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri Wardhana, Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud, Wakil Gubernur Seno Aji, Bupati Kukar Aulia Rahman Basri, Wakil Bupati Rendi Solihin, serta Sultan Kutai Aji Muhammad Arifin. Sultan tampak ceria ketika memukul gong, dilanjutkan dengan prosesi adat pendirian Tiang Ayu dan penyulutan api brong sebagai tanda dimulainya pesta budaya terbesar di Kaltim.
Selama sepekan, suasana Tenggarong diwarnai berbagai kegiatan seni, budaya, dan olahraga tradisional. Mulai dari bazar UMKM, beseprah, bepelas, hingga ziarah ke makam kesultanan. Puncaknya, hari ketujuh ditandai prosesi turun naga dan belimbur.
Turun naga (ngulur naga) adalah prosesi mengarak replika sepasang naga dari Keraton (kini Museum Mulawarman) untuk kemudian dilarung ke Sungai Mahakam. Setelah itu, naga dibawa ke Kutai Lama di Anggana, tempat asal Kesultanan Kutai.
Kisah ini berhubungan dengan legenda raja pertama Kutai. Konon, Putri Karang Melenu dan Aji Batara Agung (raja pertama Kutai) berasal dari peristiwa misterius: dibawa oleh naga dari Sungai Mahakam. Karena itu, replika naga yang diarak selalu sepasang, diberi nama Naga Bini dan Naga Laki.
Sesaat setelah ngulur naga, tibalah saat yang ditunggu masyarakat: belimbur. Sultan memulai dengan memercikkan air suci (air tuli) dari Kutai Lama menggunakan mayang pinang, disusul masyarakat yang saling siram. Air yang digunakan harus bersih, sesuai titah Sultan. Tidak boleh marah bila terkena siraman, karena itu simbol syukur dan penyucian diri.
Agar lebih meriah, BPBD Kukar menurunkan mobil pemadam untuk menyemprotkan air. Warga pun berkreasi dengan ember, gayung, hingga kantong plastik berisi air.
Meski tak sempat hadir saat pembukaan dan penutupan, saya berkesempatan singgah ke Tenggarong pada Sabtu. Usai menikmati martabak kareh Haji Baen di Loa Kulu, saya menuju Museum Mulawarman. Di sana berlangsung ritual beluluh, hampir setiap hari dilakukan Sultan bersama kerabat kesultanan.
Beluluh adalah ritual penyucian diri untuk menghilangkan pengaruh negatif. Sultan duduk di balai bambu berhias janur, dipimpin seorang belian (tokoh spiritual adat Kutai). Setelah pembacaan mantra dan tepong tawar, Sultan bersama tamu kehormatan menarik janur lalu melemparkannya ke belakang.
Tanpa diduga, saya ikut didaulat mengikuti ritual tersebut. Usai beluluh, saya bahkan diajak Sultan minum teh bersama.
Aji Muhammad Arifin adalah Sultan Kutai ke-21, menggantikan ayahandanya, Aji Muhammad Salehuddin II, yang wafat pada 5 Agustus 2018. Penabalan Sultan berlangsung pada 15 Desember 2018 di Keraton.
Menariknya, Sultan lahir jauh dari tanah leluhur: di Wassenaar, Zuid-Holland, Belanda, ketika orang tuanya berada di sana.
Beliau mengenang masa kuliah di Universitas Mulawarman (Unmul) era 1970-an, kala kampus masih di Jl Pulau Flores, kini gedung Balai Bahasa. “Pak wali ini teman seangkatan saya,” ujar Sultan.
Dalam perbincangan, saya menyampaikan gagasan perlunya Gerakan Pemasalan Kebudayaan Kutai (GPKK) yang lebih masif di Kaltim, terutama menyambut Erau 2026.
GPKK penting untuk menjaga eksistensi kebudayaan Kutai yang punya peran besar dalam sejarah nusantara. Sebagian besar wilayah Kaltim dahulu merupakan bagian Kesultanan Kutai.
Menpar Widiyanti menegaskan, “Melalui Festival Erau kita tidak hanya merayakan budaya, tetapi juga merawat identitas dan kebanggaan bersama.” Hal senada disampaikan Gubernur Rudy Mas’ud, bahwa Erau adalah ruang pertemuan budaya adat yang harus dijaga.
Beberapa gagasan yang bisa dijalankan dalam GPKK, antara lain:
1. Mengembalikan Museum Mulawarman menjadi Keraton Kutai yang dikelola Pemkab dan Kesultanan Kutai.
2. Memberikan hak pengelolaan tambang kepada Kesultanan Kutai, sebagaimana pemerintah memberi hak kepada ormas dan lembaga lain.
3. Memasukkan Bahasa Kutai sebagai muatan lokal di sekolah dasar hingga menengah. Bekerja sama dengan Unmul dan Unikarta untuk mencetak guru Bahasa Kutai.
4. Menonjolkan budaya Kutai dalam penyambutan tamu penting melalui seni tari, pakaian adat, arsitektur, kuliner, dan cenderamata.
Masakan khas Kutai pun layak dipopulerkan, seperti nasi bakepor, gence ruan, rabo ruan, sate payau, telur ikan biawan, sambal raja, hingga baung masak durian.
Sebagian wilayah IKN Nusantara adalah bekas wilayah Kutai. Bahkan pada upacara 17 Agustus 2024 di IKN, Presiden Jokowi mengenakan busana Kesultanan Kutai. Namun, Sultan tidak sempat diundang karena kendala teknis.
Selayaknya, nama jalan, gedung, maupun ornamen di IKN mencerminkan budaya Kutai. Kata “Etam” yang berarti kita dalam Bahasa Kutai sudah melekat dalam keseharian masyarakat Kaltim.
Sultan Arifin juga sempat menyinggung pentingnya keberadaan Rumah Singgah Sultan di beberapa kota besar Kaltim, seperti Samarinda, Balikpapan, dan Bontang. Selain sebagai rumah singgah, juga berfungsi sebagai Rumah Budaya Kutai.
Saya mengusulkan, di Balikpapan bisa memanfaatkan rumah milik Pertamina di kawasan atas Lapangan Merdeka yang memiliki pemandangan indah.
Tidak ada salahnya jika setiap Erau, Sultan menganugerahkan gelar adat kepada tokoh yang peduli pembangunan dan kebudayaan Kutai. Dengan begitu, rasa memiliki dan kepedulian terhadap Kesultanan Kutai semakin kuat.
Saya sendiri pernah mendapat kehormatan pada tahun 2012 dari almarhum Sultan Salehuddin II dengan gelar Raden Nata Praja Anum. Perasaan “etam” bangga itu masih saya bawa hingga kini, sembari menikmati nasi bakepor dan gence ruan yang terasa “beneh” sambil menyaksikan Tari Topeng Kemindu dan Tari Ganjur yang khas Kesultanan Kutai.(*)